Alkisah, pada suatu desa yang
bernama Bayan, tinggallah sebuah keluarga. Sang ayah bernama Panji Bayan Ullah
Petung Bayan, sedangkan anaknya bernama Panji Bayan Sangge. Suatu hari tatkala
Panji Bayan Sangge masih kanak-kanak, entah karena apa, ia pergi meninggalkan
desa kelahirannya untuk mengembara.
Setelah melewati berbagai lembah dan
bukit, akhirnya Panji Bayan Sangge tiba di sebuah daerah yang bernama Batu
Dendeng. Hutang memang harus dibayar, takdir juga harus dijalani. Singkat
cerita, di Batu Dendeng Panji Bayan Sangge dijadikan anak angkat oleh sepasang
suami-isteri yang tidak mempunyai anak, bernama Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol.
Ia dianggap dan diperlakukan seperti anak kandungnya sendiri. Ia tidak
merasakan kejanggalan apapun juga. Inaq dan Amaq Bangkol dianggap sebagai orang
tuanya sendiri. Mereka saling mengasihi, mencintai dan pada segi-segi tertentu
saling menghormati. Hari berganti minggu, bulan demi bulan datang silih
berganti, tahun demi tahun menyusul, akhirnya Panji Payan Sangge meningkat
dewasa. Ia telah menjadi seorang pemuda.
Pada suatu hari ia mengemukakan
niatnya kepada Inaq Bangkol untuk menggarap sebuah ladang. Setelah membuat
petak ladang dan memagarinya, maka oleh Inaq Bangkol diberikan beberapa bibit
tanaman seperti: jagung, berbagai jenis kacang, gandum dan lain-lain tanaman
yang pantas atau cocok untuk di taman di ladang.
Demikianlah, setelah beberapa waktu
bibit yang diberikan oleh Inaq Bangkol ditanam, bibit-bibit itu tumbuh dengan
suburnya. Panji Bayan Sangge merasa sangat gembira. Ia semakin giat mengurus
ladang.
Beberapa minggu kemudian,
pemandangan pada ladang itu telah berwarna-warni oleh berbagai jenis bunga.
Tampaknya tak lama lagi semua tanaman akan berbuah. Itu berarti semua
pengorbanan dan jerih payah Panji Bayan Sangge tidak akan sia-sia.
Namun seperti kata pepatah, untung
tak dapat diraih dan malang pun tak dapat ditolak. Pada suatu pagi yang cerah
ketika Panji Bayan Sangge mendatangi ladangnya, ia menjadi terkejut bukan main.
Semua bunga yang pada senja hari kemarin masih baik dan utuh, sekarang musnah
semuanya. Panji Bayan Sangge segera pulang ke rumah dan menceritakan semua yang
dilihat kepada ibunya.
“Ibu, tadi pagi ketika ananda ke
ladang, semua bunga tanaman itu telah hilang. Kalau dikatakan itu adalah
perbuatan babi atau kera, rasanya tak mungkin. Karena tak satu pun tangkainya
yang patah. Karena itu ananda bermaksud untuk mengadakan pengintaian.
Barangkali ada tangan-tangan jahil yang sengaja merusak tanaman kita.”
“Baik, bunda setuju dengan rencana
itu. Jagalah dirimu baik-baik dan jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak kita
inginkan. Bertindaklah dengan jujur dan tidak boleh berbuat kasar kepada
siapapun. Segala persoalan pasti dapat diselesaikan dengan baik. Dengar dan
perhatikan nasihat bunda ini.” Demikian kata-kata Inaq Bangkol kepada Panji
Bayan Sangge sesaat sebelum berangkat ke ladang.
Pada malam harinya Panji Bayan
Sangge mulai melakukan pengintaian. Dengan cermat ia mengawasi ladangnya. Semua
sudut ladang tak lepas dari perhatiannya. Namun, sudah hampir semalam suntuk
tak ada sesuatu pun yang mencurigakan. Hening, sepi, tak ada sesuatu atau
seseorang yang mendatangi ladangnya.
Saat menjelang fajar, ketika Panji
Bayan Sangge sedang bergulat dengan hebatnya menahan kantuk, tiba-tiba dari
jurusan yang tak dapat dilihatnya, sembilan orang bidadari turun dari langit
dan dengan asyiknya mengisap dan merusak bunga tanaman itu. Pengisapan dan
perusakan bunga terus dilakukan dari satu pohon ke pohon yang lain. Melihat
tingkah bidadari itu hati Panji Bayan Sangge menjadi gemas.
“Akan kuapakan perempuan-perempuan
yang merusak tanamanku ini? Bila aku biarkan pasti bunga-bunga ini akan habis.
Apakah hasilku nanti? Ah, lebih baik kutangkap saja barang seorang,” pikirnya.
Dengan sigap, Panji Bayan Sangge menangkap salah seorang dari bidadari itu.
Sang bidadari mengadakan perlawanan sekuat tenaga. Namun apa daya, Panji Bayan
Sangge memiliki tenaga yang jauh lebih besar. Melihat peristiwa yang tak
diinginkan itu, bidadari yang lain menjadi ketakutan dan melarikan diri. Panji
Bayan Sangge segera membawa bidadari yang tertangkap itu pulang ke rumahnya.
Setelah tiba di rumah, ia mencari
dan memberitahu Inaq Bangkol, “Ibu, dialah yang merusak tanaman kita di ladang.
Hukuman apakah yang akan kita berikan kepadanya?”
“Anakku, bila bidadari ini merusak
tanaman kita di ladang, ibu hanya berdoa, memohon kepada Yang Maha Kuasa,
semoga ananda dijodohkan dengan dia, janganlah dihukum. Dia akan kujadikan anak
dan juga menantu. Terjadinya peristiwa ini, hanyalah merupakan takdir semata.
Terimalah dengan penuh tawakkal. Semoga kebahagiaan senantiasa meliputi
kalian.”
Singkat cerita, Panji Bayan Sangge
pun akhirnya mengawini bidadari itu. Tetapi selama berumah tangga, mereka tak
pernah berbicara. Demikianlah, kehidupan mereka berlangsung beberapa lama
sampai mereka memperoleh seorang anak.
Karena telah lama kawin, namun tidak
pernah mendengar satu patah kata pun dari isterinya, Panji Bayan Sangge menjadi
penasaran. Berbagai akal telah dicoba agar isterinya mau berbicara. Dan,
sebab-sebabnya pun selalu diselidiki, mengapa ia membisu. Satu hal yang selalu
menarik perhatian Panji Bayan Sangge, ialah apabila isterinya akan mengambil
air ke sumur. Sebelum berangkat ia selalu masuk ke dalam rumah. Setelah itu
barulah pergi ke sumur. Apa gerangan maksudnya? Ada apa di dalam rumah? Hal
inilah yang ingin diketahui oleh Panji Bayan Sangge. Barangkali dengan
mengetahui latar belakang peristiwa ini dia akan dapat mengetahui mengapa
isterinya selalu membisu.
Pada suatu hari ketika selesai makan
dan segala-galanya sudah dikembalikan ke tempatnya, ia memperhatikan apa yang
akan dilakukan oleh isterinya. Benar juga. Isterinya masuk ke dalam rumah. Tak
berapa lama, lalu keluar lagi dan pergi mengambil air ke sumur. Setelah
diperkirakan isterinya sampai di sumur, yang letaknya agak jauh dari rumah itu,
Panji Bayan Sangge masuk ke dalam rumah.
Setelah beberapa lama memperhatikan
apa yang ada di dalam rumah, perhatian Panji Bayan Sangge tertuju kepada
segulungan tikar. Ia segera membuka gulungan tikar itu. Dan apa yang
didapatinya? Ia menemukan sebuah selendang yang tergulung dan sengaja
disembunyikan di tempat itu. Selendang itu bernama Lempot Umbaq yang tak pernah
dilepaskan oleh isterinya, kecuali pada waktu mengambil air. “Ada apa dengan
selendang ini?” demikian pikirannya.
Dia yakin bahwa selendang itu sangat
besar artinya bagi isterinya. “Kalau selendang ini kusembunyikan mustahil,
isteriku tak akan menanyakannya. Dalam kesempatan itulah nanti aku akan
berbicara dengannya.”
Maka, Lempot Umbaq itu disembunyikan
di tempat lain. Setelah itu, Panji Bayan Sangge berpura-pura sibuk dengan
pekerjaannya. Beberapa saat kemudian isterinya kembali dari sumur. Panji Bayan
Sangge memperhatikan terus secara diam-diam apa yang akan dilakukannya. Setelah
air ditaruh pada tempatnya, isterinya segera naik ke dalam rumah. Bukan main
terkejutnya bidadari itu, karena Lempot Umbaq yang tadi ditaruh di bawah
gulungan tikar sudah tak ada lagi di tempatnya. Ia tertegun dan berpikir
sejenak. Kemudian, ia mencari ke setiap sudut di dalam rumah itu. Namun yang dicari
tidak ditemukan.
Ia lalu keluar rumah. Dengan liar
serta pandangan tajam ia terus mencari. Air matanya sudah tak dapat ditahan
lagi. Ia mencari sambil menangis. Melihat itu, Panji Bayan Sangge mendekat
sambil menegur isterinya, “Apa yang sedang kau cari isteriku? Bolahkah aku
mengetahuinya? Barangkali aku dapat membantumu.”
Isterinya diam. Tak ada jawaban.
Sikapnya tetap seperti sedia kala. Namun Panji Bayan Sangge tak berputus asa.
Ia bertanya lagi, “Cobalah katakan apa yang sedang kau cari isteriku! Mungkin
aku dapat menolongmu. Atau mungkin tak percaya pada diriku?”
Kali ini pun isterinya masih tetap
membisu seribu bahasa. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya, hanya air
mata yang terus mengalir. Panji Bayan Sangge bertanya lagi, “Telah beberapa
kali kukatakan padamu. Katakanlah dengan sebenarnya, apakah yang sedang kau
cari. Aku bersedia membantumu untuk menemukan kembali.”
Pada saat itulah isterinya menjawab
dengan singkat. Dia hanya mengatakan “Lempot Umbaq”. Setelah berkata demikian,
ia seketika menghilang tanpa bekas. Semua berlangsung dalam hitungan detik. Tak
ada yang mengetahui ke mana perginya.
Kejadian itu membuat Panji Bayan
Sangge menjadi bingung. Ia bingung memikirkan nasib isterinya yang tiba-tiba
menghilang. Demikian pula nasib bayi yang ditinggalkan. Tidak terpikir olehnya
ke mana harus disusukan. Dan, ke mana pula ia harus mencari dan meminta
bantuan. Ia menunggu hingga tujuh hari, tetapi isterinya tidak muncul juga.
Akhirnya ia berkata dalam hati, “Ah, bila aku hanya berpangku tangan, tak
mungkin isteriku kembali. Dan anakku pasti akan mati. Lebih baik aku mencari
upaya, supaya isteriku dapat kubawa kembali.”
Setelah berpikir lama, akhirnya
Panji Bayan Sangge memutuskan untuk meninggalkan rumah dan mencari isterinya.
Kepada Inaq Bangkol, ia berkata, “Ibu, sekarang ananda akan menyerahkan anakku
ini kepada ibu. Ananda akan mencari upaya, agar isteriku dapat kubawa kembali.
Entah ke mana ananda belum tahu dengan pasti. Mungkin berhasil, mungkin pula
tidak. Ananda pasrahkan kepada Yang Maha Kuasa. Tetapi kelak bila anak ini
dewasa, sedangkan ananda tak kembali, beritahukanlah siapa orang tuanya yang
sebenarnya. Oleh karena itu doa restu ibu sangat ananda harapkan.”
Mendengar keinginan anak angkatnya
itu, Inaq bangkol sangat terkejut dan bersedih hati. Ia sayang kepada anaknya,
terlebih-lebih cucu angkatnya yang masih bayi itu. Namun, untuk menghalangi
maksud Panji Bayan Sangge rasanya tidak mungkin lagi. Dengan perasaan berat ia
melepaskannya sambil memanjatkan doa ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa semoga
anaknya tetap dalam lindungan dan maksud perjalanannya dapat tercapai.
Setelah ditinggalkan, Inaq Bangkol
merasa sedih. Selain itu, ia pun bingung tak tahu harus berbuat apa untuk
menyusui cucunya. Ketika Inaq Bangkol sedang kebingungan itu, tiba-tiba ia
mendengar suatu suara. “Hai, Inaq Bangkol, bila kamu ingin melihat cucumu itu
selamat dan dapat menyusu pada dirimu sendiri, aku akan memberi petunjuk yang
harus kau patuhi. Ambil dan gosokkan sekujur tubuhmu dengan daun ini. Sesudah
itu peras dan minumlah airnya.”
Mendengar suara itu Inaq Bangkol
segera mengambil daun yang tiba-tiba jatuh di hadapannya dan melaksanakan
petunjuk dari suara gaib yang telah didengarnya. Dan, Air susu segera memancar
dari kedua payudaranya. Akhirnya, sang cucu sudah dapat minum air susu kembali.
Sementara itu, Panji Bayan Sangge
yang sedang dalam usaha mencari isterinya, telah lama berjalan dan terus
berjalan tanpa suatu arah yang pasti sampai akhirnya ia berada di tengah-tengah
hutan. Di hutan itu Panji Bayan Sangge kemudian duduk bersila untuk bersemedi.
Setelah beberapa lama bersemedi, tiba-tiba ia mendengar suara gaib. “Hai, Panji
Bayan Sangge, kalau kamu akan mencari isterimu kamu harus mempersiapkan
syaratnya. Kamu harus mendapatkan merang yang berasal dari ketan hitam. Merang
ini harus kamu bakar di atas sebuah batu. Sewaktu asapnya mengepul ke udara,
lompatilah merang itu. Maka kamu akan menjumpai isterimu. Tetapi jangan kau
bingung bila berhadapan dengan banyak perempuan yang rupanya sangat mirip
dengan isterimu. Oleh karena itu, kamu kuberikan seekor lalat emas yang ditaruh
di dalam sebuah kota emas pula. Kalau kesulitan dalam menentukan yang mana
isterimu, lepaskanlah lalat ini. Di mana lalat ini hinggap dan tidak berpindah
lagi, itulah isterimu.”
Setelah suara itu hilang, ia sadar
kembali dan pikirannya dapat dipulihkan. Ketika itu ia pun segera mencari dan
menyiapkan merang ketan hitam yang diperlukan sebagai syarat untuk bertemu
dengan isterinya. Dengan tidak membuang waktu lagi, ia pun menaiki sebuah batu
besar dan dibakarnyalah merang ketan hitam itu. Saat asap merang mulai mengepul
ke udara, ia pun melompat. Dan, ketika berada di tengah-tengah asap, seketika
itu juga ia membumbung tinggi ke udara, menuju suatu tempat yang tak dapat
dijangkau oleh manusia. Bersamaan dengan habisnya asap merang itu tibalah ia
pada suatu tempat yang ajaib sekali. Di hadapannya berdiri sebuah istana yang
megah, dikelilingi tembok yang kokoh. Tatkala ia berada di dekatnya tiba-tiba
pintu gerbang istana itu terbuka sendiri.
Panji Bayan Sangge kemudian memasuki
gerbang istana itu. Sebelum memasuki bangunan istana, ia harus melewati halaman
yang sangat luas. Saat berjalan di halaman itu, ia melihat seorang laki-laki
paruh baya sedang duduk di Berugaq Sekapat. Laki-laki itu menegur, “Hai, orang
muda, dari mana asalmu. Apa pula maksud kedatanganmu ke mari? Siapa yang
membawamu, hingga berada di tempat ini?”
Dengan hormatnya Panji Bayan Sangge
menjawab, “Maaf paman, kedatanganku kemari memang sengaja, untuk menyusul
isteriku.”
Dengan terkejut, laki-laki itu
bertanya, “Menyusul isterimu? Mana mungkin. Tak seorang pun dari anak-anakku
pernah kawin. Jangankan kawin, keluar istana ini pun tak pernah. Berkatalah
yang sebenarnya, jangan mengada-ada. Siapa yang memberi petunjuk, siapa yang
mengatakan padamu dan di mana pula kamu pernah menjumpai anakku? Cobalah
ceritakan kepadaku!”
Panji Bayan Sangge tetap menjawab
dengan sikap yang pasti, “Dalam petunjuk sudah jelas, bahwa isteriku berada di
tempat ini. Tak mungkin berada di tempat lain. Saya yakin benar bahwa isteriku
pasti berada di tempat ini.”
Orang tua itu berkata, “Sekarang aku
akan keluarkan semua anak-anakku. Cobalah engkau tunjukkan nanti, yang manakah
kau anggap sebagai isterimu. Tetapi harus diingat, apabila nanti kau tak dapat
menunjukkan dengan tepat kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu.”
“Saya sanggup,” kata Panji Bayan
Sangge.
Maka lelaki tua itu pun mengeluarkan
anak-anaknya yang berjumlah sembilan orang. Mereka didudukkan berderet,
berhadapan dengan Panji Bayan Sangge. Agak bingung juga Panji Bayan Sangge
melihat mereka yang semuanya sebaya dan mempunyai wajah yang hampir sama pula.
Namun akhirnya ia dapat menguasai diri. Ia ingat akan kotak serta lalat emas
yang terdapat di dalam sakunya. Dengan diam-diam kotak itu dibukanya. Lalat
emas itu pun keluar lalu terbang di antara semua wanita yang berderet itu dan
akhirnya hinggap di dada salah seorang di antara mereka. Sesudah lalat itu diam
dan tidak berpindah lagi, maka Panji Bayan Sangge telah mengetahui yang mana
isterinya. Dengan penuh kepastian Panji Bayan Sangge menunjuk salah seorang di
antara kesembilan bidadari itu.
Laki-laki tua itu kemudian bertanya,
“Dari mana kau dapat mengetahui bahwa dia itu adalah isterimu?”
Panji Bayan Sangge pun memberikan
keterangan tentang kegunaan lalat yang dibawanya. Lalu katanya, “Lalat itu
hinggap di dada isteri saya. Karena mencium bau amis yang keluar dari susunya,
karena dia telah melahirkan seorang putera yang kini sedang diasuh oleh ibu
saya.”
“Di mana kau memperoleh lalat itu?”
tanya orang tua itu selanjutnya.
“Lalat itu diberikan oleh sebuah
suara gaib ketika saya sedang bersemedi dalam mencari upaya untuk menemukan
kembali isteri saya ini.”
“Nah, bila demikian halnya baiklah.
Aku percaya sekarang. Tak ada hal lagi yang aku ragukan. Pertemuan kalian ini
rupanya memang sudah menjadi suratan takdir. Tuhan telah menjodohkan kalian.
Sekarang apa sebab kamu ditinggalkan oleh isterimu? Pernahkah kalian dahulu
berbicara sewaktu kalian berkeluarga?”
“Tak sekali jua pun,” jawab Panji
Bayan Sangge.
Jawaban ini makin menambah keyakinan
orang tua itu, bahwa anak muda yang ada di hadapannya itu memang benar
menantunya. Lalu orang tua itu memberikan keterangan selanjutnya. “Begini
anakku, isterimu selalu membisu, disebabkan karena isterimu mengetahui bahwa
dia belum memenuhi persyaratan. Persyaratan itu belum pernah dilakukan.
Sekarang di tempat ini akan kita penuhi persyaratan itu. Adapun syarat itu
ialah apa yang sering disebut dengan nama Umbaq Lempot. Syarat inilah yang
dahulu dibutuhkan oleh isterimu. Di sinilah sekarang kita buat untukmu. Dan,
inilah yang harus dilakukan oleh keturunanmu kelak. Cara membuatnya ialah
dengan motif Ragi Saja (nama motif kain tenun Sasak). Jadi nama lengkap syarat
itu adalah Umbaq Lempot Ragi Saja. Nah inilah kebutuhan utama untuk memenuhi hidup
di dunia.”
Beberapa hari setelah Umbaq Lempot
Ragi Saja selesai dibuat, Panji Bayan Sangge dan isterinya pun turun ke bumi.
Mereka tiba di tempat yang sama ketika Panji Bayan Sangge membakar merang ketan
hitam. Dari tempat itu, mereka kemudian pulang ke rumah orang tua angkat Panji
Bayan Sangge untuk berkumpul lagi dengan putera mereka yang sudah lama
ditinggalkan.
Setelah Panji Bayan Sangge bersama
dengan isterinya kembali ke rumah, puteranya yang diberi nama Mas Panji
Pengendeng pun sudah agak besar. Karena ibunya adalah seorang bidadari, maka
Mas Panji Pengendeng tidak hanya tampan, melainkan juga mempunyai
kekuatan-kekuatan tertentu yang membuatnya sakti mandraguna.
Singkat cerita, beberapa tahun
kemudian, setelah Mas Panji Pengendeng itu menjadi dewasa, ia meminta izin
kepada kedua orang tuanya untuk membuat dan menempati desa baru, yaitu Desa
Selong Semoyong. Sebelum putera tunggalnya itu pergi, kedua orang tuanya
memberitahukan syarat-syarat agar dapat hidup di dunia dengan aman dan sentosa,
yaitu dengan membuat Umbaq Lempot. Selain itu, ada lagi syarat lain yang harus
dilaksanakan, yaitu harus mendirikan sebuah Barugaq Sekepat. Pada Barugaq
Sekepat inilah akan hadir para leluhur tatkala ada kegiatan-kegiatan atau
upacara sedang dilakukan.
Setelah Mas Panji Pengendeng telah
lama menetap di Desa Selong Semoyong dan telah beranak-pinak, terjadilah
peperangan di Kerajaan Kelungkung di Pulau Bali. Sebelumnya Raja Klungkung
pernah mendapat berita bahwa di bumi Selaparang terdapat seorang ksatria
perkasa. Yang dimaksud tidak lain adalah Mas Panji Pengendeng sendiri. Maka
dibuatlah surat oleh Raja Klungkung, meminta Mas Panji Pengendeng bersedia
membantunya untuk menghadapi musuh.
Ketika undangan dibaca oleh Mas
Panji Pengendeng, ia merasa malu jika tidak memenuhi undangan Raja Klungkung
itu. Akhirnya undangan itu pun diterima dengan baik dan disanggupi bahwa ia
akan pergi dan membatu Raja Klungkung. Keberangkatannya ke Kerajaan Klungkung
itu tidak hanya membawa pasukan tentara atau laskar biasa, tetapi disertai juga
oleh bala samar sebanyak empat puluh empat.
Setelah tiba di Klungkung dan
disambut langsung oleh Raja, maka tanpa membuang waktu lagi ia minta
ditunjukkan lokasi peperangan dan langsung maju berperang. Di tengah-tengah
peperangan yang sedang berkecamuk, nasib malang menimpa Mas Panji Pengendeng
yang terkenal sakti mandra guna serta sukar dicari tandingannya itu. Ia
terjatuh akibat kakinya tersandung oleh dodotnya sendiri yang bermotif Benang
Dua Ragi Poleng (nama motif kain tenun Sasak). Karena malu, ia kemudian
memerintahkan para bala samarnya untuk menggotongnya keluar dari medang perang
dan langsung kembali ke Lombok tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada Raja
Klungkung.
Namun, saat sampai di tanah Lombok
ia tidak pulang ke Selong Semoyong, tetapi menuju Gawah Toaq. Setelah tiga hari
berada di Gawah Toaq, ia pun memerintahkan bala samarnya agar pergi ke Selong
Semoyong untuk memberitahukan keluarganya.
Setelah berita itu tiba di Selong
Semoyong, keluarganya sangat terkejut dan panik. Mereka lalu mempersiapkan
semua kebutuhan, dan segera berangkat menuju Gawah Toaq. Saat seluruh keluarga
telah berada di Gawah Toaq, mereka meminta agar Mas Panji Pengendeng bersedia
dibawa pulang ke Selong Semoyong. Dan, kemauan keluarga ini dipenuhi Mas Panji Pengendeng.
Mereka pun berjalan beriringan meninggalkan Gawah Toaq menuju Selong Semoyong.
Tatkala rombongan tiba di daerah
Embung Puntiq, kondisi Mas Panji Pengendeng kelihatan makin parah. Mas Panji
Pengendeng berkata, “Sebaiknya kita beristirahat di sini. Aku sudah terlalu
payah dan mungkin tak dapat sampai ke Selong Semoyong. Oleh karena itu
mendekatlah kemari semua anak-anakku dan yang lainnya. Dengarkan baik-baik.
Seandainya nanti aku meninggal dunia di tempat ini, kuminta janganlah jenazahku
dimakamkan ataupun dibakar. Agar kelak bila ada anak cucuku ingin menziarahiku,
mereka terbebas dari perasaan enggan. Biarlah agar semua orang dapat berkunjung
ke tempat ini. Bila mereka datang menziarahiku, hendaklah mereka berkeliling
sekurang-kurangnya satu kali. Boleh juga dilakukan tiga, lima, tujuh ataupun
sembilan kali. Maksudnya supaya anak cucuku yang bergama Islam kelak dapat
meniatkan diri belajar tawaf di Mekkah. Juga aku pesankan pada kalian agar
mengunjungi sekurang-kurangnya dua kali dalam setahun. Yaitu menjelang musim
penghujan, ketika bibit padi sudah mulai disiapkan. Dan kedua, sewaktu menanam
padi telah selesai. Melalui tempat inilah kalian memohon kepada Yang Maha Kuasa
agar selalu diberikan rahmat-Nya. Dan, janganlah membawa alat-alat pecah belah.
Tempat ini adalah hutan. Kalau kalian terjatuh akan menimbulkan kerugian.
Cukuplah dengan membawa takilan saja. Lauk pauknya janganlah mewah. Yang
penting kalian tetap datang ke tempat ini pada waktu yang telah kusebutkan
tadi. Satu hal lagi yang terlarang bagimu kemari adalah mamakai kain sebangsa
Ragi Poleng, karena penderitaanku ini akibat tersandung dodot Benang Dua Ragi
Poleng dalam peperangan di Klungkung.”
Selesai mengucapkan wasiat itu, Mas
Panji Pengendeng meminta disiapkan tempat tidur. Ia ingin beristirahat karena
merasa lukanya bertambah parah. Setelah tenda dan tempat tidurnya siap, Mas
Panji Pengendeng dipapah dan dibaringkan di situ. Beberapa saat kemudian, para
pengiring mengira bahwa Mas Panji Pengendeng sedang tidur dengan pulasnya. Mereka
tidak menyadari bahwa junjungannya itu telah tiada. Mas Panji Pengendeng telah
meninggalkan dunia yang fana ini dan segera menghadap Tuhan.
Pagi harinya, setelah tahu bahwa Mas
Panji Pengendeng telah wafat, seluruh rombongan menjadi panik. Mereka tidak tahu
apa yang harus dilakukan terhadap jenazah Mas Panji Pengendeng. Akan dibawa
kembali ke Selong Semoyang, tak mungkin karena wasiat sudah digariskan lain.
Sampai siang hari mereka bingung tak tentu apa yang harus dilakukannya. Tetapi
tatkala akan menjenguk jenazah, ternyata jenazah itu tidak ada di tempatnya.
Hilang entah ke mana, yang tinggal hanyalah tempat tidurnya saja. Kain penutup
jenazah juga tidak ada lagi. Peristiwa ini cocok benar dengan wasit yang telah
diberikan. Jenazahnya jangan dikuburkan atau dibakar. Rupanya peristiwa inilah
yang dimaksudkan. Maka, oleh masyarakat Selong Semoyang pada tempat di mana Mas
Panji Pengendeng meninggal dunia dan akhirnya menghilang dibuat sebuah makam.
Dan, makam itu hingga saat ini terkenal dengan nama Makam Embung Puntiq.
Ini adalah
Sebuah Cerita Rakyat dari Desa Padamara, Kecamatan Sukamulia, Lombok Timur,
NTB. Pada jaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing hiduplah sebuah
keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain dan sang suami bernama Amaq
Lembain. Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan
kedesa desa menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi. Kalau Inaq Lembain
menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula. Pada suatu hari, ia sedang
asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya diatas sebuah batu ceper didekat
tempat ia bekerja.
Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin lama
makin menaik. Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai memanggil
ibunya: "Ibu batu ini makin tinggi." Namun sayangnya Inaq Lembain
sedang sibuk bekerja. Dijawabnya, "Anakku tunggulah sebentar, Ibu baru
saja menumbuk."
Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama makin meninggi hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian berteriak sejadi-jadinya. Namun, Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan menampi beras. Suara anak-anak itu makin lama makin sayup. Akhirnya suara itu sudah tidak terdengar lagi.
Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu mencapai awan. Mereka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain tersadar, bahwa kedua anaknya sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu Goloq.
Inaq Lembain menangis
tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat mengambil anaknya. Syahdan doa
itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib. dengan sabuknya ia akan dapat memenggal Batu
Goloq itu. Ajaib, dengan menebaskan sabuknya batu itu terpenggal menjadi tiga
bagian. Bagian pertama jatuh di suatu tempat yang kemudian diberi nama Desa
Gembong oleh karena menyebabkan tanah di sana bergetar. Bagian ke dua jatuh di
tempat yang diberi nama Dasan Batu oleh karena ada orang yang menyaksikan
jatuhnya penggalan batu ini. Dan potongan terakhir jatuh di suatu tempat yang
menimbulkan suara gemuruh. Sehingga tempat itu diberi nama Montong Teker.Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama makin meninggi hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian berteriak sejadi-jadinya. Namun, Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan menampi beras. Suara anak-anak itu makin lama makin sayup. Akhirnya suara itu sudah tidak terdengar lagi.
Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu mencapai awan. Mereka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain tersadar, bahwa kedua anaknya sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu Goloq.
Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah menjadi dua ekor burung. Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan adiknya berubah menjadi burung Kelik. Oleh karena keduanya berasal dari manusia maka kedua burung itu tidak mampu mengerami telurnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar